Mayjen
Sutoyo Siswomiharjo
Mayjen Sutoyo Siswomiharjo adalah pahlawan revolusi yang difitnah PKI akan membentuk
dewan jendral dan mengadakan kudeta militer terhadap kepemimpinan Presiden Soekarno.
Fitnah tersebut menjadi alasan PKI menculik dan membunuh beliau. Mayjen Sutoyo
lahir di Kebumen 28 Agustus 1922 dan meninggal di Lubang Buaya Jakarta Selatan,
kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta Selatan.
Sebelum
berkarir di militer, Sutoyo sempat menjadi pegawai negeri di kantor
pemerintahan Kabupaten Purworejo pada masa pendudukan Jepang hingga tahun 1944.
Setelah itu Sutoyo telibat dan berkarir dalam dunia militer. Karirnya bermula
saat ia bergabung dengan TKR setelah proklamasi kemerdekaan.Di TKR beliau masuk
dalam kepolisian tentara. Bagian inilah yang selanjutnya menjadi Corps Polisi
Militer (CPM).
Sejak
awal bergabung hingga RI berdaulat Sutoyo tetap bertugas di CPM. Bulan Juni
1945 beliau diangkat menjadi ajudan Kolonel Gatot Subroto seorang komandan
Polisi Tentara. Selanjutnya Sutoyo diangkat sebagai Kepala Bagian Organisasi
Resimen II PT di Purworejo, Kepala Staf CPM Yogyakarta dan Komandan SPM
Datasemen II Surakarta.
Tahun
1954 Sutoyo diangkat sebagai Kepala Staf Markas Besar CPM, selanjutnya
mengemban tugas sebagai Asisten Atase Militer RI di London tahun 1956.
Sekembalinya dari Inggris ia langsung mengikuti pendidikan staf dan komando
angkatan darat (Seskoad). Rampung pendidikan, diangkat senagai inspektur
kehakiman AD tahun 1961 dengan pangkat Brigjen.
Tahun
1965 Sutoyo bersama perwira tinggi AD lainnya menolak rencana PKI
mempersenjatai buruh dan Tani yang akan dijadikan angkatan Kelima TNI.
Akibatnya ia menjadi salah satu target pembunuhan PKI. Tanggal 1 Oktober 1965
Beliau ditemukan sudah meninggal di sebuah sumur tua di daerah Lubang Buaya
Jakarta Selatan bersama Ahmad Yani, S.Parman, DI Pandjaitan, Suprapto dan MT Haryono. Untuk mengenang jasanya pemerintah menganugerahi beliau
pahlawan Revolusi tahun 1965.
Jendral Ahmad Yani
Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani adalah seorang
pahlawan Revolusi Indonesia. Achmad Yani lahir di Jenar, Purworejo Jawa Tengah
pada tanggal 19 Juni 1922.
Achmad Yani
mengikuti pendidikan militer pada Dinas Topografi Militer di Malang dan secara
lebih intensif di Bogor. Dari sana ia mengawali karir militernya dengan pangkat
Sersan. Kemudian setelah tahun 1942, pendudukan Jepang di Indonesia, ia juga mengikuti
pendidikan Heiho di Magelang dan selanjutnya masuk tentara Pembela Tanah Air
(PETA) di Bogor.
Berbagai prestasi
pernah diraihnya pada masa perang kemerdekaan. Achmad Yani berhasil menyita
senjata Jepang di Magelang. Setelah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia
diangkat menjadi Komandan TKR Purwokerto. Ketika Agresi Militer Pertama Belanda
terjadi, pasukan Achmad Yani yang beroperasi di daerah Pingit berhasil menahan
serangan Belanda di daerah tersebut. Maka saat Agresi Militer Kedua Belanda
terjadi, ia dipercayakan memegang jabatan sebagai Komandan Wehrkreise II yang
meliputi daerah pertahanan Kedu. Setelah Indonesia mendapat pengakuan
kedaulatan, ia diserahi tugas untuk melawan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam
Indonesia) yang membuat kekacauan di daerah Jawa Tengah. Ketika itu dibentuk
pasukan Banteng Raiders yang diberi latihan khusus hingga pasukan DI/TII pun
berhasil dikalahkan. Seusai penumpasan DI/TII tersebut, ia kembali ke Staf
Angkatan Darat.
Pada tahun 1955,
Achmad Yani disekolahkan di Command and General Staff College di Fort Leaven
Worth, Kansas, USA selama sembilan bulan. Pada tahun 1956, ia juga mengikuti
pendidikan selama dua bulan pada Spesial Warfare Course di Inggris. Tahun 1958
saat pemberontakan PRRI terjadi di Sumatera Barat, Achmad Yani yang masih
berpangkat Kolonel diangkat menjadi Komandan Komando Operasi 17 Agustus dan
berhasil menumpasnya. Hingga pada tahun 1962, ia diangkat menjadi Menteri/Panglima
Angkatan Darat.
Achmad Yani
selalu berbeda paham dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Ia menolak
keinginan PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan tani
yang dipersenjatai. Oleh karena itu, ia menjadi salah satu target PKI yang
diculik dan dibunuh di antara tujuh petinggi TNI Angkatan Darat melalui Pemberontakan
G30S/PKI (Gerakan Tiga Puluh September/PKI). Achmad Yani ditembak di depan
kamar tidurnya pada tanggal 1 Oktober 1965 (dinihari). Jenazahnya kemudian
ditemukan di Lubang Buaya, Jakarta Timur dan dimakamkan secara layak di Taman
Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Achmad Yani gugur sebagai Pahlawan
Revolusi. Pangkat sebelumnya sebagai Letnan Jenderal dinaikkan satu tingkat
(sebagai penghargaan) menjadi Jenderal.
D.I Pandjaitan
Mayor
Jenderal TNI Anumerta Donald Isaac Panjaitan
lahir di Balige, Tapanuli, 9 Juni 1925. Ketika ia tamat
Sekolah Menengah Atas, Indonesia sedang dalam pendudukan Jepang. Sehingga
ketika masuk menjadi anggota militer ia harus mengikuti latihan Gyugun. Selesai
latihan, ia ditugaskan sebagai anggota Gyugun di Pekanbaru, Riau hingga
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.
Ketika Indonesia sudah meraih kemerdekaan, ia bersama
para pemuda lainnya membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kemudian
menjadi TNI. Di TKR, ia pertama kali ditugaskan menjadi komandan batalyon,
kemudian menjadi Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi pada
tahun 1948. Seterusnya menjadi Kepala Staf Umum IV (Supplay) Komandemen Tentara
Sumatera. Dan ketika Pasukan Belanda melakukan Agresi Militernya yang Ke II, ia
diangkat menjadi Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik
Indonesia (PDRI).
Seiring dengan berakhirnya Agresi Militer Belanda ke II,
Indonesia pun memperoleh pengakuan kedaulatan. Panjaitan sendiri kemudian
diangkat menjadi Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium (T&T) I Bukit
Barisan di Medan. Selanjutnya dipindahkan lagi ke Palembang menjadi Kepala Staf
T & T II/Sriwijaya.
Setelah mengikuti kursus Militer Atase (Milat) tahun
1956, ia ditugaskan sebagai Atase Militer RI di Bonn, Jerman Barat. Ketika masa
tugasnya telah berakhir sebagai Atase Militer, ia pun pulang ke Indonesia.
Namun tidak lama setelah itu yakni pada tahun 1962, perwira yang pernah menimba
ilmu pada Associated Command and General Staff College, Amerika Serikat ini,
ditunjuk menjadi Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad).
Jabatan inilah terakhir yang diembannya saat peristiwa G 30/S PKI terjadi.
Ketika menjabat Asisten IV Men/Pangad, ia berhasil
membongkar rahasia pengiriman senjata dari Republik Rakyat Cina (RRC) untuk
PKI. Dari situ diketahui bahwa senjata-senjata tersebut dimasukkan ke dalam
peti-peti bahan bangunan yang akan dipakai dalam pembangunan gedung Conefo (Conference
of the New Emerging Forces). Senjata-senjata itu diperlukan PKI yang sedang
giatnya mengadakan persiapan melancarkan pemberontakan.
Pada
jam-jam awal 1 Oktober 1965, sekelompok anggota Gerakan 30
September meninggalkan Lubang
Buaya menuju pinggiran Jakarta. Mereka memaksa masuk pagar rumah
Panjaitan di Jalan Hasanudin, Kebayoran
Baru, Jakarta
Selatan, lalu menembak dan menewaskan salah seorang pelayan yang
sedang tidur di lantai dasar rumah dua lantai dan menyerukan Panjaitan untuk
turun ke bawah. Dua orang pemuda yaitu Albert Naiborhu dan Viktor Naiborhu terluka
berat saat mengadakan perlawanan ketika D.I. Panjaitan diculik, tidak lama
kemudian Albert meninggal. Setelah penyerang mengancam keluarganya, Panjaitan
turun. Dia kemudian mencoba melarikan diri dan ditembak mati. mayatnya
dimasukkan ke dalam truk dan dibawa kembali ke markas gerakan itu di Lubang
Buaya. Kemudian, tubuh dan orang-orang dari rekan-rekannya dibunuh tersembunyi
di sebuah sumur tua. Mayat ditemukan pada tanggal 4 Oktober, dan
semua diberi pemakaman kenegaraan pada hari berikutnya. Panjaitan mendapat
promosi anumerta kepada Jenderal Mayor dan diberi gelar Pahlawan Revolusi.
No comments:
Post a Comment