Friday 8 March 2013

PAHLAWAN REVOLUSI INDONESIA


Mayjen Sutoyo Siswomiharjo

 
Mayjen Sutoyo Siswomiharjo adalah pahlawan revolusi yang difitnah PKI akan membentuk dewan jendral dan mengadakan kudeta militer terhadap kepemimpinan Presiden Soekarno. Fitnah tersebut menjadi alasan PKI menculik dan membunuh beliau. Mayjen Sutoyo lahir di Kebumen 28 Agustus 1922 dan meninggal di Lubang Buaya Jakarta Selatan, kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta Selatan.
Sebelum berkarir di militer, Sutoyo sempat menjadi pegawai negeri di kantor pemerintahan Kabupaten Purworejo pada masa pendudukan Jepang hingga tahun 1944. Setelah itu Sutoyo telibat dan berkarir dalam dunia militer. Karirnya bermula saat ia bergabung dengan TKR setelah proklamasi kemerdekaan.Di TKR beliau masuk dalam kepolisian tentara. Bagian inilah yang selanjutnya menjadi Corps Polisi Militer (CPM).

Sejak awal bergabung hingga RI berdaulat Sutoyo tetap bertugas di CPM. Bulan Juni 1945 beliau diangkat menjadi ajudan Kolonel Gatot Subroto seorang komandan Polisi Tentara. Selanjutnya Sutoyo diangkat sebagai Kepala Bagian Organisasi Resimen II PT di Purworejo, Kepala Staf CPM Yogyakarta dan Komandan SPM Datasemen II Surakarta.

Tahun 1954 Sutoyo diangkat sebagai Kepala Staf Markas Besar CPM, selanjutnya mengemban tugas sebagai Asisten Atase Militer RI di London tahun 1956. Sekembalinya dari Inggris ia langsung mengikuti pendidikan staf dan komando angkatan darat (Seskoad). Rampung pendidikan, diangkat senagai inspektur kehakiman AD tahun 1961 dengan pangkat Brigjen.
Tahun 1965 Sutoyo bersama perwira tinggi AD lainnya menolak rencana PKI mempersenjatai buruh dan Tani yang akan dijadikan angkatan Kelima TNI. Akibatnya ia menjadi salah satu target pembunuhan PKI. Tanggal 1 Oktober 1965 Beliau ditemukan sudah meninggal di sebuah sumur tua di daerah Lubang Buaya Jakarta Selatan bersama Ahmad Yani, S.Parman, DI Pandjaitan, Suprapto dan MT Haryono. Untuk mengenang jasanya pemerintah menganugerahi beliau pahlawan Revolusi tahun 1965. 



Jendral Ahmad Yani

 

Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani adalah seorang pahlawan Revolusi Indonesia. Achmad Yani lahir di Jenar, Purworejo Jawa Tengah pada tanggal 19 Juni 1922.
Achmad Yani mengikuti pendidikan militer pada Dinas Topografi Militer di Malang dan secara lebih intensif di Bogor. Dari sana ia mengawali karir militernya dengan pangkat Sersan. Kemudian setelah tahun 1942,  pendudukan Jepang di Indonesia, ia juga mengikuti pendidikan Heiho di Magelang dan selanjutnya masuk tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor.
Berbagai prestasi pernah diraihnya pada masa perang kemerdekaan. Achmad Yani berhasil menyita senjata Jepang di Magelang. Setelah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia diangkat menjadi Komandan TKR Purwokerto. Ketika Agresi Militer Pertama Belanda terjadi, pasukan Achmad Yani yang beroperasi di daerah Pingit berhasil menahan serangan Belanda di daerah tersebut. Maka saat Agresi Militer Kedua Belanda terjadi, ia dipercayakan memegang jabatan sebagai Komandan Wehrkreise II yang meliputi daerah pertahanan Kedu. Setelah Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan, ia diserahi tugas untuk melawan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang membuat kekacauan di daerah Jawa Tengah. Ketika itu dibentuk pasukan Banteng Raiders yang diberi latihan khusus hingga pasukan DI/TII pun berhasil dikalahkan. Seusai penumpasan DI/TII tersebut, ia kembali ke Staf Angkatan Darat.
Pada tahun 1955, Achmad Yani disekolahkan di Command and General Staff College di Fort Leaven Worth, Kansas, USA selama sembilan bulan. Pada tahun 1956, ia juga mengikuti pendidikan selama dua bulan pada Spesial Warfare Course di Inggris. Tahun 1958 saat pemberontakan PRRI terjadi di Sumatera Barat, Achmad Yani yang masih berpangkat Kolonel diangkat menjadi Komandan Komando Operasi 17 Agustus dan berhasil menumpasnya. Hingga pada tahun 1962, ia diangkat menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat.
Achmad Yani selalu berbeda paham dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Ia menolak keinginan PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan tani yang dipersenjatai. Oleh karena itu, ia menjadi salah satu target PKI yang diculik dan dibunuh di antara tujuh petinggi TNI Angkatan Darat melalui Pemberontakan G30S/PKI (Gerakan Tiga Puluh September/PKI). Achmad Yani ditembak di depan kamar tidurnya pada tanggal 1 Oktober 1965 (dinihari). Jenazahnya kemudian ditemukan di Lubang Buaya, Jakarta Timur dan dimakamkan secara layak di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Achmad Yani gugur sebagai Pahlawan Revolusi. Pangkat sebelumnya sebagai Letnan Jenderal dinaikkan satu tingkat (sebagai penghargaan) menjadi Jenderal.



D.I Pandjaitan
 
Mayor Jenderal TNI Anumerta Donald Isaac Panjaitan lahir di Balige, Tapanuli, 9 Juni 1925. Ketika ia tamat Sekolah Menengah Atas, Indonesia sedang dalam pendudukan Jepang. Sehingga ketika masuk menjadi anggota militer ia harus mengikuti latihan Gyugun. Selesai latihan, ia ditugaskan sebagai anggota Gyugun di Pekanbaru, Riau hingga Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.
Ketika Indonesia sudah meraih kemerdekaan, ia bersama para pemuda lainnya membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kemudian menjadi TNI. Di TKR, ia pertama kali ditugaskan menjadi komandan batalyon, kemudian menjadi Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi pada tahun 1948. Seterusnya menjadi Kepala Staf Umum IV (Supplay) Komandemen Tentara Sumatera. Dan ketika Pasukan Belanda melakukan Agresi Militernya yang Ke II, ia diangkat menjadi Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Seiring dengan berakhirnya Agresi Militer Belanda ke II, Indonesia pun memperoleh pengakuan kedaulatan. Panjaitan sendiri kemudian diangkat menjadi Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium (T&T) I Bukit Barisan di Medan. Selanjutnya dipindahkan lagi ke Palembang menjadi Kepala Staf T & T II/Sriwijaya.
Setelah mengikuti kursus Militer Atase (Milat) tahun 1956, ia ditugaskan sebagai Atase Militer RI di Bonn, Jerman Barat. Ketika masa tugasnya telah berakhir sebagai Atase Militer, ia pun pulang ke Indonesia. Namun tidak lama setelah itu yakni pada tahun 1962, perwira yang pernah menimba ilmu pada Associated Command and General Staff College, Amerika Serikat ini, ditunjuk menjadi Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad). Jabatan inilah terakhir yang diembannya saat peristiwa G 30/S PKI terjadi.
Ketika menjabat Asisten IV Men/Pangad, ia berhasil membongkar rahasia pengiriman senjata dari Republik Rakyat Cina (RRC) untuk PKI. Dari situ diketahui bahwa senjata-senjata tersebut dimasukkan ke dalam peti-peti bahan bangunan yang akan dipakai dalam pembangunan gedung Conefo (Conference of the New Emerging Forces). Senjata-senjata itu diperlukan PKI yang sedang giatnya mengadakan persiapan melancarkan pemberontakan.
Pada jam-jam awal 1 Oktober 1965, sekelompok anggota Gerakan 30 September meninggalkan Lubang Buaya menuju pinggiran Jakarta. Mereka memaksa masuk pagar rumah Panjaitan di Jalan Hasanudin, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, lalu menembak dan menewaskan salah seorang pelayan yang sedang tidur di lantai dasar rumah dua lantai dan menyerukan Panjaitan untuk turun ke bawah. Dua orang pemuda yaitu Albert Naiborhu dan Viktor Naiborhu terluka berat saat mengadakan perlawanan ketika D.I. Panjaitan diculik, tidak lama kemudian Albert meninggal. Setelah penyerang mengancam keluarganya, Panjaitan turun. Dia kemudian mencoba melarikan diri dan ditembak mati. mayatnya dimasukkan ke dalam truk dan dibawa kembali ke markas gerakan itu di Lubang Buaya. Kemudian, tubuh dan orang-orang dari rekan-rekannya dibunuh tersembunyi di sebuah sumur tua. Mayat ditemukan pada tanggal 4 Oktober, dan semua diberi pemakaman kenegaraan pada hari berikutnya. Panjaitan mendapat promosi anumerta kepada Jenderal Mayor dan diberi gelar Pahlawan Revolusi.



No comments:

Post a Comment